IGJ: Pemerintah Tak Akan Mematikan Industri Rokok


Kudus (ANTARA) - The Institute for Global Justice (IGJ) menyatakan pemerintah tidak akan mematikan industri rokok, mengingat kontribusinya terhadap penerimaan negara dari cukai rokok relatif cukup besar. 
"Belum pernah saya mendengar, negara akan membunuh industri nasionalnya karena mereka menyumbang pemasukan yang cukup besar lewat pajak," kata Direktur IGJ Salamuddin Daeng pada seminar nasional "Masa Depan Industri Kretek Pasca-Disahkannya PP Nomor 109 Tahun 2012" di Universitas Muria Kudus, Kamis.
Menurut dia, industri tembakau merupakan industri yang sangat besar dan tidak ada satu negara pun di dunia yang hendak meninggalkannya.
Terkait dengan Peraturan Pemerintah No. 109/2012 Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan, kata dia, karena alasan kesehatan dan gencarnya kampanye antitembakau.
"Sejak keluarnya Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) pada tahun 2005, tidak ada data yang menunjukkan penurunan industri tembakau," ujarnya.
Pembicara lainnya, Joko Utomo dari Ketua Program Magister Manajemen (MM) Universitas Muria Kudus menganggap kemunculan PP No. 109/2012 karena yang dimenangkan adalah aspek kesehatan.
"Jika kita simak, ada sesuatu yang tampaknya disembunyikan atau ada udang di balik batu dengan lahirnya PP tersebut," tuturnya.
Lahirnya PP 109/2012 tersebut dianggap Sekjen Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Hasan Aoni Aziz menjadi salah satu faktor yang akan memicu terjadinya kebangkuratan petani maupun industri tembakau.
Pasalnya, kata dia, terdapat beberapa pasal yang memang dipandang bisa menimbulkan kebangkrutan.
Ia mengakui bahwa banyak variabel untuk melakukan pembatasan terhadap kretek, termasuk melalui regulasi.
Adapun sejumlah variabel yang membatasi industri rokok, yakni pembatasan kapasitas produksi, promosi (termasuk melalui iklan dan kemasan), distribusi, konsumsi, dan infrastrukturnya.
Sementara itu, pakar hukum tata negara dari Universitas Indonesia Margarito mengkiritik banyaknya diksi yang masih tidak jelas pada peraturan pemerintah tersebut, di antarnya pada penyebutan kata zat adiktif.
"Apa yang dimaksud dengan zat adiktif harus jelas. Pembentukan undang-undang harus menjamin kepastian dan menyatakan secara tegas apa yang dikehendai norma itu," ujarnya menegaskan.

Sumber : Antara, Yahoo, PlasaMSN dan Aktual

Mentan Tidak Memihak Petani Tembakau


Jakarta, Seruu.com - Rencana kementerian pertanian (Kementan) melakukan diversifikasi tanaman dari tanaman tembakau dengan tanaman lain mendapat tanggapan sekretaris Pusat Studi Kretek Indonesia (Puskindo) Zamhuri.

Menurutnya Menteri Pertanian tidak bisa memberikan jaminan ke petani tembakau bahwa produksi sistem pertanian holtikultura yang digagas bisa bersaing dengan produk impor dan lebih menguntungkan.

“Apakah sudah ada bukti konkrit para petani tembakau bisa menjadi lebih sejahtera, jaminan pasar, dan proteksi dari persaingan produk impor jika diganti holtikultura?” tanyanya saat dihubungi Seruu.com, Jumat (18/01/2013).

Ia menjelaskan petani tentu yang paling tahu dan berhak menentukan mana tanaman yang akan ditanam, cocok dengan iklim dan lingkungan, dan menguntungkan secara ekonomis. Petani tidak mungkin menanam tembakau kalau tidak menguntungkan.

“Petani itu sudah cerdas, apalagi memiliki pengalaman puluhan tahun, tidak mungkin petani tanam tembakau kalau tidak menguntungkan,” tegasnya.

Zamhuri melanjutkan, pilihan petani menanam tembakau mendapatkan perlindungan UU No 12 tahun 1972, Pasal 6 menyebutkan petani memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan jenis tanaman dan pembudidayannya.

“Jadi pemerintah tidak bisa memaksakan kehendak kepada petani untuk mengganti tanaman tembakau ke jenis tanaman lain,” jelasnya.

Jika sekarang ini banyak komsumsi impor tembakau, mestinya Mentan mengupayakan penghentian impor, bukan malah mengajak petani tembakau beralih ke tanaman lain. Kebijakan ini jelas tidak memiliki keberpihakan kepada para petani tembakau. Semestinya Mentan melestarikan jenis tanaman tembakau karena telah menjadi salah satu tanaman yang mampu mensejahterakan para petani.

“Mentan itu berpihak dan memberi pelayanan kepada siapa kalau tidak kepada petani?” tanyanya.

Dalam pemberitaan media sebelumnya dinyatakan Mentan sudah bertahun-tahun mempersiapkan petani  agar bisa beradaptasi ketika PP tembakau diimplementasikan.

Menurut Suswono tembakau dianggap tidak lagi memiliki prospek yang cerah sehingga petani  diharap bisa mengantisipasi dengan tumpang sari atau berganti tanaman. Selain itu menurutnya dengan gencarnya langkah pengendalian tembakau, maka petani sudah diingatkan sejak jauh-jauh hari untuk mengantisipasi  penurunan konsumsi tembakau.

"Faktor perubahan iklim sangat mempengaruhi pertanian tembakau, dan kami  sudah mengadakan penyuluhan kepada petani bahwa ada kemungkinan  konsumsi tembakau akan terus turun, maka mulailah diversifikasi dan ganti komoditi," ungkap Suswono.

Menanggapi pernyataan Suswono, Zamhuri mempertanyakan, apakah tanaman holtikultura, jika sukses mengganti tembakau,  bisa menggantikan hilangnya aset sosial, ekonomi, tenaga kerja, dan budaya yang telah terbentuk oleh industri hasil tembakau (IHT).

Selain itu apakah Mentan bisa memberi jaminan kesejahteraan para petani tembakau dan stakeholders IHT, jika tembakau telah diganti holtikultura. Tidak hanya itu, ia juga mempertanyakan apakah pihak Kementan sudah melakukan riset teknologi budidaya pertanian yang bisa meminimalisasi dampak perubahan iklim? Apakah Kementan memberi informasi cuaca yang tepat kepada petani? Mengingat informasi cuaca sangat dibutuhkan tidak hanya untuk petani tembakau, tetapi juga untuk menyesuaikan jenis tanaman yang cocok ditanam.

Petani Sokoguru Revolusi

Budayawan Mohammad Sobary mengatakan di zaman pergolakan revolusi kemerdekaan, Bung Karno menyebut petani sebagai sokoguru revolusi. Pidato-pidato Bung Karno yang bersemangat, jauh sesudah negeri kita merdeka, pun masih tetap menyebut besarnya peranan kaum tani di dalam revolusi kemerdekaan kita.

“Petani merupakan kekeuatan penyangga jalannya revolusi karena dukungan petani terhadap kaum pergerakan sangat besar. Desa-desa kita pernah menjadi “gudang” persediaan pangan bagi tentara revolusioner yang terdesak ke kampung-kampung dan tak semapt menyiapkan perbekalan yang dierlukan untuk bertahan dalam waktu yang tak diketahui berapa lama,” paparnya.

Jalinan petani dan industri, lanjut ia membuat petani tak sepenuhnya mati di dalam masyarakat berbasis industri karena dunia industri memerlukan petani untuk menjadi pemasok bahan baku. Relasi-relasi fungsional petani tembakau-pabrik keretek kita memperlihatkan bahwa fungsi petani masih sangat penting di dalam masyarakat industri.

“Industri keretek tanpa petani tak mungkin berproduksi. Tapi apa arti petani secara ekonomi dan kebudayaan bila pabrik tak ada? Mereka yang “mengecilkan” arti petani akan terkejut karena petani tak bisa dikecilkan,” tegasnya.

Dalam banyak kajian ilmiah diperlihatkan bagaimana pada akhirnya petani, yang diam, sabar, dan tabah menghadapi tekanan berbagai kebijakan pemerintah, salah satunya PP Tembakau, akhirnya bangkit sebagai kekuatan mengejutkan. Kebijakan-kebijakan mengatur apa yang mereka sebut “dampak produk tembakau” yang kelihatannya begitu klinis, semata-mata berurusan dengan pabrik keretek.

“Petani paham sepaham-pahamnya bahwa hidup mereka terancam. Kebijakan itu (PP 109/2012) juga tertuju kepada mereka,” ungkapnya.

Tokoh-tokoh yang membela kepentingan pemerintah untuk membuat regulasi pesanan kepentingan bangsa asing, pura-pura tak tahu bahwa langkah yang mereka bela itu pada hakikatnya mengancam kehidupan petani tembakau.

Menurut Kang Sob, menipu diri untuk pura-pura tidak tahu bahwa mereka membela kepentingan bangsa asing dan mengancam kehidupan bangsa sendiri, ini pertama-tama akan menjadi perkara politik yang tak sehat. Dan kemudian akan tumbuh sebagai gejala psikologi yang memalukan.

Selebihnya, jika kehidupan petani tembakau ditekan dan terus-menerus diancam oleh pemerintah sendiri, petani akan bangkit dan menyatukan kekuatan seperti pengalaman sejarah di masa lampau.

“Petani tembakau akan melawan siapa saja. Juga pemerintah lokal, yang menyimpang dari kewajibannya sebagai pemerintah, untuk menjalankan mandat konstitusi agar mereka tak lupa bahwa petani itu sokoguru revolusi,” tukasnya.

Sumber : Seruu.com

Mentan Dinilai Tidak Berpihak Petani Tembakau


RIMANEWS-Rencana kementerian pertanian (Kementan) melakukan diversifikasi tanaman dari tanaman tembakau dengan tanaman lain mendapat tanggapan sekretaris Pusat Studi Kretek Indonesia (Puskindo) Zamhuri. Menurutnya  Menteri Pertanian tidak bisa memberikan jaminan ke petani tembakau bahwa produksi sistem pertanian holtikultura yang digagas bisa bersaing dengan produk impor dan lebih menguntungkan.
 “Apakah sudah ada bukti konkrit para petani tembakau bisa menjadi lebih sejahtera, jaminan pasar, dan proteksi dari persaingan produk impor jika diganti holtikultura?” tanyanya.
Ia menjelaskan petani tentu yang paling tahu dan berhak menentukan mana tanaman yang akan ditanam, cocok dengan iklim dan lingkungan, dan menguntungkan secara ekonomis. Petani tidak mungkin menanam tembakau kalau tidak menguntungkan.  “Petani itu sudah cerdas, apalagi memiliki pengalaman puluhan tahun, tidak mungkin petani tanam tembakau kalau tidak menguntungkan,” tegasnya.
 Zamhuri melanjutkan, pilihan petani menanam tembakau mendapatkan perlindungan UU No 12 tahun 1972, Pasal 6 menyebutkan Petani memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan jenis tanaman dan pembudidayannya. “Jadi pemerintah tidak bisa memaksakan kehendak kepada petani untuk mengganti tanaman tembakau ke jenis tanaman lain,” jelasnya.
Jika sekarang ini banyak komsumsi impor tembakau, mestinya Mentan mengupayakan penghentian impor, bukan malah mengajak petani tembakau beralih ke tanaman lain. Kebijakan ini jelas tidak memiliki keberpihakan kepada para petani tembakau. Semestinya Mentan melestarikan jenis tanaman tembakau karena telah menjadi salah satu tanaman yang mampu mensejahterakan para petani.  “Mentan itu berpihak dan memberi pelayanan kepada siapa kalau tidak kepada petani?” tanyanya.
Dalam pemberitaan media sebelumnya dinyatakan Mentan sudah bertahun-tahun mempersiapkan petani  agar bisa beradaptasi ketika PP tembakau diimplementasikan. Menurut Suswono tembakau dianggap tidak lagi memiliki prospek yang cerah sehingga petani  diharap bisa mengantisipasi dengan tumpang sari atau berganti tanaman. Selain itu menurutnya dengan gencarnya langkah pengendalian tembakau,  maka petani sudah diingatkan sejak jauh-jauh hari untuk mengantisipasi  penurunan konsumsi tembakau."Faktor perubahan iklim sangat mempengaruhi pertanian tembakau, dan kami  sudah mengadakan penyuluhan kepada petani bahwa ada kemungkinan  konsumsi tembakau akan terus turun, maka mulailah diversifikasi dan ganti komoditi," ungkap Suswono.
Menanggapi pernyataan Suswono, Zamhuri mempertanyakan, apakah tanaman holtikultura --jika sukses mengganti tembakau-- bisa menggantikan hilangnya aset sosial, ekonomi, tenaga kerja, dan budaya yang telah terbentuk oleh industri hasil tembakau (IHT). Selain itu apakah Mentan bisa memberi jaminan kesejahteraan para petani tembakau dan stakeholders IHT, jika tembakau telah diganti holtikultura.
Selain itu, ia juga mempertanyakan apakah pihak Kementan sudah melakukan riset teknologi budidaya pertanian yang bisa meminimalisasi dampak perubahan iklim? Apakah Kementan memberi informasi cuaca yang tepat kepada petani? Mengingat informasi cuaca sangat dibutuhkan tidak hanya untuk petani tembakau, tetapi juga untuk menyesuaikan jenis tanaman yang cocok ditanam.

Petani Sokoguru Revolusi
Budayawan Mohammad Sobary mengatakan di zaman pergolakan revolusi kemerdekaan, Bung Karno menyebut petani sebagai sokoguru revolusi. Pidato-pidato Bung Karno yang bersemangat, jauh sesudah negeri kita merdeka, pun masih tetap menyebut besarnya peranan kaum tani di dalam revolusi kemerdekaan kita.
“Petani merupakan kekeuatan penyangga jalannya revolusi karena dukungan petani terhadap kaum pergerakan sangat besar. Desa-desa kita pernah menjadi “gudang” persediaan pangan bagi tentara revolusioner yang terdesak ke kampung-kampung dan tak semapt menyiapkan perbekalan yang dierlukan untuk bertahan dalam waktu yang tak diketahui berapa lama,” paparnya.
Jalinan petani – industri, lanjut ia membuat petani tak sepenuhnya mati di dalam masyarakat berbasis industri karena dunia industri memerlukan petani untuk menjadi pemasok bahan baku. Relasi-relasi fungsional petani tembakau-pabrik keretek kita memperlihatkan bahwa fungsi petani masih sangat penting di dalam masyarakat industri. “Industri keretek tanpa petani tak mungkin berproduksi. Tapi apa arti petani secara ekonomi dan kebudayaan bila pabrik tak ada? Mereka yang “mengecilkan” arti petani akan terkejut karena petani tak bisa dikecilkan,” tegasnya.
Dalam banyak kajian ilmiah diperlihatkan bagaimana pada akhirnya petani, yang diam, sabar, dan tabah menghadapi tekanan berbagai kebijakan pemerintah, salah satunya PP Tembakau, akhirnya bangkit sebagai kekuatan mengejutkan. Kebijakan-kebijakan mengatur apa yang mereka sebut “dampak produk tembakau” yang kelihatannya begitu klinis, semata-mata berurusan dengan pabrik keretek. “Petani paham sepaham-pahamnya bahwa hidup mereka terancam. Kebijakan itu (PP 109/2012) juga tertuju kepada mereka,” ungkapnya.
Tokoh-tokoh yang membela kepentingan pemerintah untuk membuat regulasi pesanan kepentingan bangsa asing, pura-pura tak tahu bahwa langkah yang mereka bela itu pada hakikatnya mengancam kehidupan petani tembakau.  Menurut Kang Sob, menipu diri untuk pura-pura tidak tahu bahwa mereka membela kepentingan bangsa asing dan mengancam kehidupan bangsa sendiri, ini pertama-tama akan menjadi perkara politik yang tak sehat. Dan kemudian akan tumbuh sebagai gejala psikologi yang memalukan. Selebihnya, jika kehidupan petani tembakau ditekan dan terus-menerus diancam oleh pemerintah sendiri, petani akan bangkit dan menyatukan kekuatan seperti pengalaman sejarah di masa lampau.
“Petani tembakau akan melawan siapa saja. Juga pemerintah lokal, yang menyimpang dari kewajibannya sebagai pemerintah, untuk menjalankan mandat konstitusi agar mereka tak lupa bahwa petani itu sokoguru revolusi,” tukasnya. ***

Sumber : Rimanews

Kementan harusnya bantu hentikan impor tembakau

Sindonews.com - Sekretaris Pusat Studi Kretek Indonesia (Puskindo), Zamhuri mengemukakan, selama ini Indonesia banyak melakukan impor tembakau. Semestinya Kementerian Pertanian mengupayakan penghentian impor, bukan malah mengajak petani tembakau beralih ke tanaman lain.

Menurut Zamhuri, kebijakan ini jelas tidak memiliki keberpihakan kepada petani tembakau. Semestinya Mentan melestarikan jenis tanaman ini karena telah menjadi salah satu tanaman yang mampu menyejahterakan para petani.

“Mentan itu berpihak dan memberi pelayanan kepada siapa kalau tidak kepada petani,” ujar Zamhuri dalam keterangan tertulisnya kepada Sindonews, Jumat (18/1/2013).

Dalam pemberitaan media sebelumnya, Mentan Suswono menyatakan pemerintah sudah bertahun-tahun mempersiapkan petani agar bisa beradaptasi saat PP tembakau diimplementasikan. Dia berpendapat tembakau tidak lagi memiliki prospek yang cerah sehingga petani didorong mengantisipasinya dengan tumpang sari atau berganti tanaman.

"Faktor perubahan iklim sangat memengaruhi pertanian tembakau, dan kami sudah mengadakan penyuluhan kepada petani bahwa ada kemungkinan  konsumsi tembakau akan terus menurun. Sehingga dimulailah diversifikasi dan ganti komoditi," ungkap Suswono.

Sumber : Seputar Indonesia

Puskindo ragu diversifikasi bisa gantikan aset tembakau

Sindonews.com - Sekretaris Pusat Studi Kretek Indonesia (Puskindo), Zamhuri mempertanyakan apakah tanaman holtikultura jika sukses menggantikan tembakau bisa menutup hilangnya aset sosial, ekonomi, tenaga kerja, dan budaya yang telah terbentuk industri hasil tembakau (IHT)?

"Selain itu, apakah mentan bisa memberi jaminan kesejahteraan para petani tembakau dan stakeholders IHT, jika tembakau telah diganti holtikultura?" tanya Zamhuri dalam keterangan tertulisnya kepada Sindonews, Jumat (18/1/2013).

Dia juga mempertanyakan pihak Kementan yang mengklaim sudah melakukan riset teknologi budidaya pertanian yang bisa meminimalisasi dampak perubahan iklim.

"Informasi cuaca sangat dibutuhkan tidak hanya bagi petani tembakau, tetapi juga untuk menyesuaikan jenis tanaman yang cocok ditanam," ujar Zamhuri.

Menurutnya, pilihan petani menanam tembakau mendapatkan perlindungan UU No 12/1972, Pasal 6, yang menyebutkan petani memiliki kebebasan menentukan pilihan jenis tanaman dan pembudidayaannya.

“Jadi pemerintah tidak bisa memaksakan kehendak kepada petani untuk mengganti tanaman tembakau ke jenis tanaman lain,” tegas Zamhuri.

Sumber : Seputar Indonesia

Puskindo tolak diversifikasi tanaman tembakau

Sindonews.com - Rencana kementerian pertanian (Kementan) melakukan diversifikasi tanaman tembakau dengan tanaman lain mendapat tanggapan keras dari Sekretaris Pusat Studi Kretek Indonesia (Puskindo), Zamhuri.

Menurutnya,  Menteri Pertanian tidak bisa memberikan jaminan ke petani tembakau bahwa produksi sistem pertanian holtikultura yang digagas bisa bersaing dengan produk impor dan lebih menguntungkan.

“Apakah sudah ada bukti konkret para petani tembakau bisa menjadi lebih sejahtera, jaminan pasar, dan proteksi dari persaingan produk impor jika diganti holtikultura?” ujar Zamhuri dalam keterangan tertulisnya kepada Sindonews, Jumat (18/1/2013).

Dia menjelaskan petani tentu yang paling tahu dan berhak menentukan mana tanaman yang akan ditanam, cocok dengan iklim dan lingkungan, dan menguntungkan secara ekonomis. Petani tidak mungkin menanam tembakau kalau tidak menguntungkan. 

“Petani itu sudah cerdas, apalagi memiliki pengalaman puluhan tahun, tidak mungkin petani tanam tembakau kalau tidak menguntungkan,” tegasnya.

Zamhuri menerangkan, pilihan petani menanam tembakau mendapatkan perlindungan UU No 12/1972, Pasal 6, bahwa petani memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan jenis tanaman dan pembudidayaannya.

“Jadi pemerintah tidak bisa memaksakan kehendak kepada petani untuk mengganti tanaman tembakau ke jenis tanaman lain,” tandasnya.

KNPK: Survei GATS Pintu Masuk Terampasnya Kedaulatan Kita

JAKARTA, KOMPAS.com - Koalisi Nasional Penyelamatan Kretek (KNPK) menilai hasil survey Global Adult Tobacco Survey (GATS) yang dilansir Kementerian Kesehatan (Kemenkes) beberapa hari lalu perlu dicermati secara bijak dan arif.

Menurut koordinator KNPK Zulvan Kurniawan, GATS adalah salah satu komponen dari Global Tobacco Surveillance System (GTSS) yang digunakan WHO untuk mengukur dan memonitor regulasi anti tembakau pada negara-negara yang telah menerapkan regulasi anti tembakau.

Sehingga apakah perlu di Indonesia yang belum meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) untuk menerapkan hal ini.

"Ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak mempunyai cara lain selain menjiplak standar barat untuk menyehatkan rakyatnya. Dan paradigma medis standar barat itulah yang telah menyebabkan kemiskinan terus meningkat di negeri ini bukan dari cara konsumsi bangsa ini," ungkapnya di Jakarta, Minggu(16/9/2012).

Zulvan menambahkan survei GATS di Indonesia didanai oleh Bloomberg Philantropies, sedangkan di China dan Afrika didanai oleh Bill dan Melinda Gates Foundation yang disalurkan melalui CDC Foundation yang bermarkas di Atlanta, negara bagian Georgia, Amerika Serikat untuk mendampingi otoritas kesehatan melakukan dan mengimplementasikan hasil survey.

"Kita semua telah mengetahui bahwa pendampingan proses dan pembuatan regulasi termasuk survei seperti ini adalah pintu masuk terampasnya kedaulatan kita dalam menentukan arah regulasi yang akan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari rakyat Indonesia. Sehingga sudah sewajarnya apabila kita tidak pernah bisa keluar dari cengkeraman segala bentuk penjajahan mereka," jelasnya.

Terkait dengan regulasi petani tembakau, Zulvan juga berpendapat bahwa regulasi tembakau yang mengadopsi FCTF bertujuan akhir untuk mematikan petani tembakau di Indonesia.

"Semakin jelas bahwa dampak regulasi tembakau yang mengadopsi Framework Convention on Tobacco Control seperti yang termaktub dalam UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan bertujuan akhir untuk merugikan petani tembakau di Indonesia melalui program diversifikasi tanaman sesuai dengan keinginan WHO untuk meningkatkan kerjasama sektoral dalam implementasi regulasi anti tembakau yang lebih teknis sebagai pelaksanaan Undang-Undang tersebut," terangya.

Menurut Zulvan sudah terlihat dari hasil survei GATS, konsumen tembakau terbesar di Indonesia adalah konsumen kretek. Kretek menurutnya adalah produk Indonesia asli yang dibuat dengan menyerap tembakau petani di Indonesia karena ke-khasannya tidak bisa digantikan oleh tembakau impor.

Sebelumnya diberitakan Menkes Nafsiah Mboi prihatin dengan tingginya angka perokok pasif (secondhand smoke) di Indonesia. Menurutnya, dengan paru-paru yang sudah terkena racun nikotin, sulit bagi Indonesia berprestasi dalam dunia olahraga.

Menurut Menkes, Indonesia kapan mau jadi juara Olimpiade, kapan kita juara dunia sepakbola. Nggak bakal. Karena paru-paru orang Indonesia sudah nggak becus.

Menanggapi pernyataan Menkes, Zulvan berpendapat keberhasilan sebuah negara dalam olimpiade atau sepakbola bukan terletak pada hasil survei jumlah konsumen tembakau.

Telah terbukti China sebagai negara dengan konsumen tembakau paling tinggi di dunia adalah negara super power dalam bidang olah raga.

"Di China pembinaan dan regenerasi atlit dilakukan dengan cara yang benar sesuai dengan kaidah-kaidah keolahragaan yang sesuai dengan standar internasional tanpa meninggalkan kaidah dari tradisi dan budaya mereka," tukasnya.

Pemerintah Harus Lakukan Riset IHT di Indonesia. Sementara itu pengamat Kebijakan Publik Zamhuri berpendapat Kementerian kesehatan (Kemenkes) semestinya sangat selektif dalam mengambil data-data riset yang berasal lembaga asing yang dibiayai oleh jaringan bisnis global yang amat berkepentingan dengan persoalan tembakau dan kehidupan industri hasil tembakau (IHT) di Indonesia.

"Sebagai pemerintah, mestinya memiliki sumber daya dan sumber dana untuk melakukan riset secara independen tentang pertembakauan dan IHT yang ada di Indonesia," terang dosen Universitas Muria Kudus.

Dia menambahkan jika argumentasi kesehatan ingin dibangun untuk mencari titik jalan keluar persoalan tembakau dan IHT di Indonesia, seyogyanya Menkes mengambil prakarsa bagaimana mencari jalan keluar yang berimbang dari sisi isu kesehatan dengan isu non kesehatan.

Kalau konsumsi tembakau dan produk ikutannya tidak bisa dihilangkan karena kepentingan yang sangat kompleks, maka dicari variabel isu riset bagaimana mengurangi dampak negatif akibat komsumsi tersebut.

"Bukan dengan memperbesar dan membangun argumen untuk menghilangkan konsumsi tembakau dan produk ikutannya dengan riset-riset yang jelas-jelas tidak memberi jalan keluar untuk menghilangkan polemik pro kontra antara isu kesehatan dan non kesehatan," tegasnya.

Menkes Mengabdi untuk Siapa? Zamhuri mengatakan pemerintah itu fungsinya memberi pelayanan, mengayomi dan melindungi kehidupan semua kelompok warga bangsa.

Menurutnya, Menkes RI tidak hanya milik salah satu kelompok masyarakat, seperti misalnya kelompok masyarakat anti rokok (kretek), tapi juga Menkesnya masyarakat yang hidup dan berjuang mempertahankan hidup dari hasil tembakau dan IHT.

"Apakah dengan terus-menerus memproduksi argumen kesehatan dengan mengimpor data riset dari luar negeri, Menkes ingin memaksakan kewenangannya dengan membangun opini yang bisa mengancam kepentingan masyarakat yang hidup dan berjung mempertahankan hidup dari tembakau dan IHT tersebut?" tanyanya.

Lebih lanjut Zamhuri menanyakan Menkes itu mengabdi untuk siapa, untuk warga Indonesia atau warga negara lain?

"Mestinya Menkes bisa lebih bijak dan arif, karena semua kegiatan yang diselenggarakan oleh Menkes dan Kemenkes juga berasal dari pungutan pajak yang diperoleh dari warga masyarakat yang hidup dan berjung mempertahankan hidup dari hasil tembakau dan IHT," tandasnya.

Sumber : Kompas

 
Didesain oleh Puskindo | Dipersembahkan untuk Sivitas Akademika - Universitas Muria Kudus