Oleh Zamhuri |
Para petani tembakau dan stakeholders industri hasil tembakau (IHT) bertubi-tubi mengalami berbagai tekanan, baik dari kampanye anti tembakau (tobacco control), fatwa agama, sampai produk regulasi hukum. Tekanan yang paling besar dirasakan justru datang dari produk hukum yang semakin mempersempit ruang gerak, bahkan bisa mengancam kelangsungan tanaman tembakau dan IHT. Salah satu produk hukum tersebut adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak uji materi pasal 113, 114 dan 199 Undang-undang nor 36 tahun 2009 tentang kesehatan.
Buntut dari putusan MK nomor 19/PUU-VIII/2010 dan nomor 34/PUU-VIII/2010 secara umum menegaskan tiga hal pengaturan hukum positif tentang tembakau dan IHT. Pertama, Tembakau dan produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas dikategorikan sebagai barang adiktif. Kedua, Produksi IHT diwajibkan mencantumkan tobacco label warning pada kemasan IHT, tidak hanya berbentuk tulisan tapi juga gambar. Ketiga, mengkriminalkan para produsen (pengusaha) yang tidak menyertakan tobacco label warning pada kemasan IHT.
Putusan tersebut memberi label yuridis tembakau sebagai tanaman yang distigmasisasi bisa “merusak” masyarakat akibat kandungan zat adiktifnya. Sehingga kebijakan pembatasan produksi kretek, zona tanpa rokok, iklan dan promosi secara yuridis menjadi kuat (pasal 115).
Regulasi berikutnya yang bisa menjadi “langkah bumerang” bagi tembakau dan IHT adalah rencana Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan dan Rancangan Undang-undang Pengendalian Dampak Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Kedua rancangan regulasi hukum tersebut sampai sekarang masih menjadi talik ulur dua kutub kepentingan yang berbeda, sehingga masih menyisakan persolan.
Menteri Pertanian (mentan) Suswono pada akhir tahun 2011 seolah mendukung RPP tentang tembakau dengan menganjurkan para petani tembakau menanam dengan tanaman lain. (Suara Merdeka, 02/01/12). Tanaman pengganti tersebut bisa berupa tanaman holtikultura. Menurut Suswono perubahan iklim menyebabkan petani tembakau kerap gagal panen, sehingga menimbulkan kerugian bagi petani itu sendiri. Sikap mentan tentu kontra produktif dengan kepentingan para petani tembakau.
Langkah Bumerang
Perdebatan tentang keberadaan pertanian tembakau dan IHT secara sederhana dapat dibuat dua kutub yang saling berhadapan. Pihak pro selalu mengatakan demi Produk Domestik Bruto (PDB), sedangkan pihak kontra mengatakan demi kesehatan dan keselamatan. Pihak pro mengatakan demi penerimaan negara, sedangkan pihak kontra mengatakan pemiskinan. Pihak pro berpendapat demi tenaga kerja, sedangkan yang kontra berdalih menimbulkan degradasi lingkungan.
Perdebatan dua kutub tersebut kemudian diintrodusir dalam produk regulasi hukum dengan mengacu pada beberapa persoalan pokok yaitu produksi, kemasan, peredaran, konsumsi dan Tarif. Produk regulasi hukum yang mengatur tentang produksi dan tarif IHT diatur dalam UU Nomor 39 Tahun 2007 Tentang Cukai dan UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pengaturan tentang kemasan, peredaran dan konsumsi diatur dalam UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, UU Nomor 40/1999 tentang Pers, UU Nomor 32/2002 tentang Penyiaran, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan dan Berbagai Peraturan Daerah (Perda) dan SK Walikota/Bupati tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Sampai saat ini terhitung ada 21 Perda yang mengatur tentang kawasan khusus bagi perokok di seluruh Indonesia.
Anehnya beberapa produk regulasi hukum tersebut selalu memberi penekanan yang lebih berat pada sektor tembakau dan IHT. Padahal ada stakeholder lain yaitu pemerintah sebagai regulator, masyarakat sebagai konsumen, dan kelompok kepentingan lain, baik lokal maupun asing, sebagai pressure group.
Menurut Ralf Dahrendorf, negara hukum yang demokratis mensyaratkan empat perangkat kondisi sosial. Pertama, persamaan dalam setiap proses politik. Kedua, tidak ada kelompok yang memonopoli. Ketiga, berlakunya nilai-nilai yang boleh disebut sebagai kebajikan publik. Keempat, menerima perbedaan dan konflik kepentingan sebagai realitas sosial yang tidak dapat dihindarkan. Sebagai negara hukum (rechstaat), negara harus memastikan bahwa regulasi disusun berdasarkan prinsip-prinsip tersebut.
Sayangnya, produk regulasi hukum tembakau dan IHT tidak sepenuhnya dapat menggambarkan terjaminnya prinsip-prinsip tersebut. Masih ada kelompok tertentu, baik domestik maupun internasional yang mempunyai akses yang luas pada sumberdaya ekonomi dan politik yang dapat mereduksi perwujudan kedaulatan hukum (the autonomy of law).
Hal ini bisa dilihat dari sikap “given” pemerintah yang teresonansi dalam draft RPP dan RUU yang mengatur tembakau dan IHT, secara konten mengandung dan memuat copy paste dari isi traktat Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Sebagaimana pendapat Sinzheimer bahwa hukum tidak bergerak dalam ruang hampa dan berhadapan dengan hal-hal yang abstrak. Melainkan, ia selalu berada dalam suatu tatanan sosial tertentu dan manusia-manusia yang hidup. Produk hukum di Indonesia seharusnya bersumber dan berdasar pada ideologi Pancasila yang disebut Sang Proklamator Soekarno sebagai “Philosofische grondslad dan harus berdasarkan pada UUD 1945.
Implikasi dari regulasi hukum yang terus menekan sektor pertanian tembakau dan IHT, tentu menjadi langkah bumerang dan mengancam kelangsungan hidup sektor tersebut. Terutama para petani tembakau di Temanggung, Wonosobo, Klaten, Magelang, Boyolali, Kendal, Purwodadi dan IHT di daerah Kudus, Kediri, dan Malang. Semestinya produk regulasi hukum semangatnya adalah mencari titik temu antar berbagai kepentingan. Produknya harus memperhatikan berbagai dimensi dan sudut pandang, baik industri, petani, tenaga kerja, serta dimensi lingkungan dan kesehatan. Produk hukum sebagai produk kebijakan publik harus meramu nilai keadilan (filosofis), kemanfaatan (sosiologis), dan bukan hanya semata menonjolkan aspek hukum (normatif) semata.
Siapapun tidak bisa memberi garansi setelah Indonesia bebas asap rokok karena para petani tembakau telah berhenti menanam dan IHT telah ditutup, rakyat dan pejabat di Indonesia bisa lebih sehat sentosa, terutama bebas dari ancaman penyakit seperti tercantum dalam label warning pada bungkus kretek.
Tulisan ini pernah dimuat di harian Jurnal Nasional, pada 10 Maret 2012.
Zamhuri, Sekretaris Pusat Studi Kretek Indonesia (Puskindo)
0 komentar:
Posting Komentar