Kretek, Warisan Dunia Asli Indonesia

Foto koleksi museum kretek terkait kunjungan tokoh pergerakan RI saat berkunjung ke pabrik rokok kretek Tjap Bal Tiga milik Ki Nitisemito


Kota Kudus, kota kretek
Kota Kudus, tempat kami
Di siniliah, di sinilah
Di sinilah, tempat kami

Rokok kretek industri asli
Jenang Kudus tak asing lagi
Mari kawan mari kemari
Datanglah ke kota kami
-------------------------


PADA era 1990-an, bait lagu dolanan anak ini begitu popular di kalangan siswa-siswi Sekolah Dasar (SD). Bait-bait lagu yang menjadi penanda Kudus sebagai Kota Kretek ini, kerap kali dinyanyikan di sekolah-sekolah, khususnya pada saat kegiatan Pramuka.
Ya, Kudus sebagai Kota Kretek memang tak bisa disangkal dalam tradisi masyarakat nusantara. Historisitas penemuan dan pengembangan industri kretek nusantara, memiliki akar yang kuat dari kota kecil di Jawa Tengah ini.
Kodrat Wahyu Dewanto dkk, dalam buku ‘Divine Kretek: Rokok Sehat’ yang diterbitkan oleh Masyarakat Bangga Produk Indonesia (MBPI) menulis, riwayat kretek bermula dari penemuan H Djamhari–ada yang menyebut Djamahri dan Djamari- sekitar akhri abad XIX. Penemuan itu awalnya termotivasi untuk mengobati rasa sesak di dadanya, di mana saat itu Djamhari mengidap penyakit asma.
Ia mengobatis asmanya tersebut dengan mengoleskan minyak cengkih di sekujur dada dan punggungnya. Alhasil, asma yang dideritanya lambat laun pun hilang. Akhirnya, Djamhari berpikir membuat sebuah kemasan yang lebih praktis. Maka, ia pun mencoba membuat formula melalui rajangan cengkih yang kemudian dicampur dengan tembakau, sehingga menjadi rokok.
Dengan melintingnya menjadi rokok, asap yang mengandung cengkih akan mudah terisap masup ke rongga dada, sehingga proses pengobatan pun bisa menjadi cepat. Djmahari pun bersenang hati, karena ia cepat sembuh berkat rokok kretek eksprimennya tersebut.
Rokok kretek hasil eksprimen H Djamhari ini kemudian disebut rokok cengkih. Namun oleh masyarakat luas, karena suaranya yang kemeretek saat rokok diisap, maka rokok formulanya tersebut akhirnya lebih dikenal dengan rokok kretek.
Namun ada sosok lain yang juga dipandang sebagai penemu kretek di Kudus, yaitu Mbok Nasilah. Berbeda dengan Djamhari yang motivasi eksprimen membuat rokok kretek untuk menyembuhkan penyakit asmanya, Mbok Nasilah membuat rokok kretek untuk menggantikan kebisaaan nginang para kusir dokar yang sering mengunjungi warungnya.

Pengembangan Kretek
    Racikan rokok kretek Mbok Nasilah ini ternyata sangat disukai oleh para kusir dokar dan pedagang keliling. Salah satunya adalah Ki Nitisemito, Raja Kretek yang masyhur dengan produk rokok ‘Tjap Bal Tiga’ yang didirikannya pada 1914 di Desa Jati.
    Fase-fase awal penemuan kretek ini kemudian mendorong lahirnya perusahaan-perusahaan rokok kretek di Kudus. Tak hanya Nitisemito, pengusaha-pengusaha lain yang mendirikan perusahaan rokok kretek di era 1900-an awal yaitu bukti sejarah yang berada di Museum Kretek Kudus, beberapa pengusaha rokok kretek tersebut adalah M Atowidjojo (Goenoeng Kedoe), Tjao Khang Hay (Trio), HM Muslich (Delima), HM Ashadi, H Ali Asikin (Djangkar), dan M Sirin (Garbis dan Manggis).
    Pada masa ini, industri kretek berkembang sangat pesat. Promosi pun digencarkan, antara lain dengan memberikan souvenir bagi konsumen. Promosi menggunakan souvenir jam gandul, piring, teko, dan pensil seperti dilakukan Ki Nitisemito dan M Atmowidjojo.
    Dan belakangan, menjelang akhir 1940-an hingga awal 1950-an, muncul perusahaan-perusahaan rokok kretek lain, menyusul sukses beberapa perusahaan rokok yang lebih dulu berdiri. Perusahan rokok kretek tersebut adalah PR Djamboe Bol yang didirikan HA Ma’roef (1937), PT Nojorono oleh Koo Djee Siang (1940), MC Wartono mendirikan PR Sukun (1948), dan Oei Wie Gwan yang mendirikan PT Djarum (1950).

Budaya Asli
 Berangkat dari sejarah penemuan dan pengembangan rokok kretek di nusantara ini, maka beberapa pihak pun memperjuangkan agar penemuan asli putra bangsa ini bisa diakui sebagai warisan dunia asli Indonesia.
Salah satu yang memperjuangkannya adalah Fahmi Idris bersama dengan komunitas Masyarakat Bangga Produk Indonesia (MBPI) yang dipimpinnya. Dalam sebuah kesempatan ia mengemukakan, kretek hanya dibuat di Indonesia, sehingga wajar bila kretek menjadi warisan budaya bangsa Indonesia. "Sebagaimana orang mengenal cerutu dari Kuba, kalau menyebut kretek, kami ingin orang mengenal kretek itu ya kretek Indonesia.’’
Sekretaris Pusat Studi Kretek Indonesia (Puskindo), Zamhuri, mengatakan, kretek sudah mengakar di masyarakat Indonesia sejak lama, sehingga tidak berlebihan jika kretek disebut sebagai hetitage warisan bangsa.
"Tembakau sudah menjadi budaya di nusantara. Fakta sejarah cukup menjadi bukti.
Dengan latar belakang sejarah yang melingkupinya, kretek sangat layak disebut sebagai warisan budaya bangsa. Soal ini masih diperjuangkan oleh berbagai pihak,’’ katanya. (Rosidi/Puskindo)

0 komentar:

Posting Komentar

 
Didesain oleh Puskindo | Dipersembahkan untuk Sivitas Akademika - Universitas Muria Kudus