Kudus (ANTARA) - The Institute for Global Justice (IGJ)
menyatakan pemerintah tidak akan mematikan industri rokok, mengingat
kontribusinya terhadap penerimaan negara dari cukai rokok relatif cukup
besar.
"Belum pernah saya mendengar, negara akan membunuh industri
nasionalnya karena mereka menyumbang pemasukan yang cukup besar lewat
pajak," kata Direktur IGJ Salamuddin Daeng pada seminar nasional "Masa
Depan Industri Kretek Pasca-Disahkannya PP Nomor 109 Tahun 2012" di
Universitas Muria Kudus, Kamis. Menurut dia, industri tembakau merupakan industri yang sangat besar dan tidak ada satu negara pun di dunia yang hendak meninggalkannya.
Terkait dengan Peraturan Pemerintah No. 109/2012 Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan, kata dia, karena alasan kesehatan dan gencarnya kampanye antitembakau.
"Sejak keluarnya Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) pada tahun 2005, tidak ada data yang menunjukkan penurunan industri tembakau," ujarnya.
Pembicara lainnya, Joko Utomo dari Ketua Program Magister Manajemen (MM) Universitas Muria Kudus menganggap kemunculan PP No. 109/2012 karena yang dimenangkan adalah aspek kesehatan.
"Jika kita simak, ada sesuatu yang tampaknya disembunyikan atau ada udang di balik batu dengan lahirnya PP tersebut," tuturnya.
Lahirnya PP 109/2012 tersebut dianggap Sekjen Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Hasan Aoni Aziz menjadi salah satu faktor yang akan memicu terjadinya kebangkuratan petani maupun industri tembakau.
Pasalnya, kata dia, terdapat beberapa pasal yang memang dipandang bisa menimbulkan kebangkrutan.
Ia mengakui bahwa banyak variabel untuk melakukan pembatasan terhadap kretek, termasuk melalui regulasi.
Adapun sejumlah variabel yang membatasi industri rokok, yakni pembatasan kapasitas produksi, promosi (termasuk melalui iklan dan kemasan), distribusi, konsumsi, dan infrastrukturnya.
Sementara itu, pakar hukum tata negara dari Universitas Indonesia Margarito mengkiritik banyaknya diksi yang masih tidak jelas pada peraturan pemerintah tersebut, di antarnya pada penyebutan kata zat adiktif.
"Apa yang dimaksud dengan zat adiktif harus jelas. Pembentukan undang-undang harus menjamin kepastian dan menyatakan secara tegas apa yang dikehendai norma itu," ujarnya menegaskan.
Sumber : Antara, Yahoo, PlasaMSN dan Aktual
0 komentar:
Posting Komentar