JAKARTA, KOMPAS.com - Koalisi Nasional Penyelamatan Kretek (KNPK) menilai hasil survey Global Adult Tobacco Survey (GATS) yang dilansir Kementerian Kesehatan (Kemenkes) beberapa hari lalu perlu dicermati secara bijak dan arif.
Menurut koordinator KNPK Zulvan Kurniawan, GATS adalah salah satu komponen dari Global Tobacco Surveillance System (GTSS) yang digunakan WHO untuk mengukur dan memonitor regulasi anti tembakau pada negara-negara yang telah menerapkan regulasi anti tembakau.
Sehingga apakah perlu di Indonesia yang belum meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) untuk menerapkan hal ini.
"Ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak mempunyai cara lain selain menjiplak standar barat untuk menyehatkan rakyatnya. Dan paradigma medis standar barat itulah yang telah menyebabkan kemiskinan terus meningkat di negeri ini bukan dari cara konsumsi bangsa ini," ungkapnya di Jakarta, Minggu(16/9/2012).
Zulvan menambahkan survei GATS di Indonesia didanai oleh Bloomberg Philantropies, sedangkan di China dan Afrika didanai oleh Bill dan Melinda Gates Foundation yang disalurkan melalui CDC Foundation yang bermarkas di Atlanta, negara bagian Georgia, Amerika Serikat untuk mendampingi otoritas kesehatan melakukan dan mengimplementasikan hasil survey.
"Kita semua telah mengetahui bahwa pendampingan proses dan pembuatan regulasi termasuk survei seperti ini adalah pintu masuk terampasnya kedaulatan kita dalam menentukan arah regulasi yang akan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari rakyat Indonesia. Sehingga sudah sewajarnya apabila kita tidak pernah bisa keluar dari cengkeraman segala bentuk penjajahan mereka," jelasnya.
Terkait dengan regulasi petani tembakau, Zulvan juga berpendapat bahwa regulasi tembakau yang mengadopsi FCTF bertujuan akhir untuk mematikan petani tembakau di Indonesia.
"Semakin jelas bahwa dampak regulasi tembakau yang mengadopsi Framework Convention on Tobacco Control seperti yang termaktub dalam UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan bertujuan akhir untuk merugikan petani tembakau di Indonesia melalui program diversifikasi tanaman sesuai dengan keinginan WHO untuk meningkatkan kerjasama sektoral dalam implementasi regulasi anti tembakau yang lebih teknis sebagai pelaksanaan Undang-Undang tersebut," terangya.
Menurut Zulvan sudah terlihat dari hasil survei GATS, konsumen tembakau terbesar di Indonesia adalah konsumen kretek. Kretek menurutnya adalah produk Indonesia asli yang dibuat dengan menyerap tembakau petani di Indonesia karena ke-khasannya tidak bisa digantikan oleh tembakau impor.
Sebelumnya diberitakan Menkes Nafsiah Mboi prihatin dengan tingginya angka perokok pasif (secondhand smoke) di Indonesia. Menurutnya, dengan paru-paru yang sudah terkena racun nikotin, sulit bagi Indonesia berprestasi dalam dunia olahraga.
Menurut Menkes, Indonesia kapan mau jadi juara Olimpiade, kapan kita juara dunia sepakbola. Nggak bakal. Karena paru-paru orang Indonesia sudah nggak becus.
Menanggapi pernyataan Menkes, Zulvan berpendapat keberhasilan sebuah negara dalam olimpiade atau sepakbola bukan terletak pada hasil survei jumlah konsumen tembakau.
Telah terbukti China sebagai negara dengan konsumen tembakau paling tinggi di dunia adalah negara super power dalam bidang olah raga.
"Di China pembinaan dan regenerasi atlit dilakukan dengan cara yang benar sesuai dengan kaidah-kaidah keolahragaan yang sesuai dengan standar internasional tanpa meninggalkan kaidah dari tradisi dan budaya mereka," tukasnya.
Pemerintah Harus Lakukan Riset IHT di Indonesia. Sementara itu pengamat Kebijakan Publik Zamhuri berpendapat Kementerian kesehatan (Kemenkes) semestinya sangat selektif dalam mengambil data-data riset yang berasal lembaga asing yang dibiayai oleh jaringan bisnis global yang amat berkepentingan dengan persoalan tembakau dan kehidupan industri hasil tembakau (IHT) di Indonesia.
"Sebagai pemerintah, mestinya memiliki sumber daya dan sumber dana untuk melakukan riset secara independen tentang pertembakauan dan IHT yang ada di Indonesia," terang dosen Universitas Muria Kudus.
Dia menambahkan jika argumentasi kesehatan ingin dibangun untuk mencari titik jalan keluar persoalan tembakau dan IHT di Indonesia, seyogyanya Menkes mengambil prakarsa bagaimana mencari jalan keluar yang berimbang dari sisi isu kesehatan dengan isu non kesehatan.
Kalau konsumsi tembakau dan produk ikutannya tidak bisa dihilangkan karena kepentingan yang sangat kompleks, maka dicari variabel isu riset bagaimana mengurangi dampak negatif akibat komsumsi tersebut.
"Bukan dengan memperbesar dan membangun argumen untuk menghilangkan konsumsi tembakau dan produk ikutannya dengan riset-riset yang jelas-jelas tidak memberi jalan keluar untuk menghilangkan polemik pro kontra antara isu kesehatan dan non kesehatan," tegasnya.
Menkes Mengabdi untuk Siapa? Zamhuri mengatakan pemerintah itu fungsinya memberi pelayanan, mengayomi dan melindungi kehidupan semua kelompok warga bangsa.
Menurutnya, Menkes RI tidak hanya milik salah satu kelompok masyarakat, seperti misalnya kelompok masyarakat anti rokok (kretek), tapi juga Menkesnya masyarakat yang hidup dan berjuang mempertahankan hidup dari hasil tembakau dan IHT.
"Apakah dengan terus-menerus memproduksi argumen kesehatan dengan mengimpor data riset dari luar negeri, Menkes ingin memaksakan kewenangannya dengan membangun opini yang bisa mengancam kepentingan masyarakat yang hidup dan berjung mempertahankan hidup dari tembakau dan IHT tersebut?" tanyanya.
Lebih lanjut Zamhuri menanyakan Menkes itu mengabdi untuk siapa, untuk warga Indonesia atau warga negara lain?
"Mestinya Menkes bisa lebih bijak dan arif, karena semua kegiatan yang diselenggarakan oleh Menkes dan Kemenkes juga berasal dari pungutan pajak yang diperoleh dari warga masyarakat yang hidup dan berjung mempertahankan hidup dari hasil tembakau dan IHT," tandasnya.
Sumber : Kompas
0 komentar:
Posting Komentar