Diduga undang-undang kretek Indonesia akan dipaksa menggunakan undang-undang kretek asing yang kultur dan karakternya sangat berbeda
Jakarta, Aktual.co,- Undang-undang Kretek di Indonesia dipaksa untuk menggunakan undang-undang dari negara asing yang karakter dan kultur nya sangat jauh berbeda dengan Indonesia.
Demikian rangkuman pendapat pengamat hukum Universitas Muria Kudus Zamhuri, Direktur Riset Lembaga Katalog Indonesia Andriea Salamun hari ini di Jakarta, (24/7)
Menurut Zamhuri, untuk membuat produk regulasi tentang kretek rancangan naskahnya jauh-jauh hari sudah disiapkan oleh bangsa lain untuk dibahas. Argumen ilmiah pun dirancang sesuai dengan kaidah keilmuan. Tak kurang lebih dari 70.000 hasil yang memberikan penghakiman terhadap rokok (kretek).
“Tidak satu pun dari hasil riset tersebut berasal dari penelitian terhadap bahan yang berasal dari produk kretek Indonesia. Karena silau terhadap pemikiran impor, hasil riset bangsa asing pun diterapkan untuk menghakimi kretek dari Indonesia. Kretek kemudian dicap bahaya dari dalil dan argumen kesehatan,” jelas Zamhuri.
Contoh nyata regulasi impor lanjut Zamhuri adalah label warning yang tersaji dalam bungkus rokok kretek adalah regulasi yang dipaksakan. Label yang berbunyi “Merokok Dapat Menyebabkan Kanker, Serangan Jantung, Impotensi Dan Gangguan Kehamilan Dan Janin”, sebetulnya merupakan produk pemikiran dan hasil riset impor yang diterima tanpa reserve.
Pertanyaan yang perlu dikemukakan dan belum mendapatkan jawaban dari kegiatan riset sampai sekarang baik oleh regulator, akademisi dan stakeholders kretek adalah, bagaimana dengan rokok asli Indonesia (kretek) apakah juga menyebabkan stigma penyakit sebagaimana klaim dalam bungkus rokok tersebut?
Seperti diketahui, saat ini di tingkat internasional ada instrumen legal yang mengatur tentang distribusi rokok. Instrumen tersebut adalah The WHO Framework Convention on Tobacco Control (WHO FCTC).
Direktur Riset Lembaga Katalog Indonesia Andriea Salamun mengatakan bahwa Indonesia dan Amerika sendiri sampai saat ini belum menandatangani FCTC tersebut. FCTC adalah sebuah perjanjian (treaty) atau instrumen internasional yang dibuat di bawah pengawasan WHO. FCTC ini dibuat dan dikembangkan dengan maksud untuk merespon epidemi penggunaan tembakau di era global.
Anehnya beberapa produk regulasi hukum tersebut selalu memberi penekanan yang lebih berat pada sektor tembakau dan industri hasil tembakau (IHT). “Padahal ada stakeholder lain yaitu pemerintah sebagai regulator, masyarakat sebagai konsumen, dan kelompok kepentingan lain, baik lokal maupun asing, sebagai pressure group,” ujarnya.
Andriea menyayangkan produk regulasi hukum tembakau dan IHT tidak sepenuhnya dapat menggambarkan terjaminnya prinsip-prinsip tersebut.
“Masih ada kelompok tertentu, baik domestik maupun internasional yang mempunyai akses yang luas pada sumberdaya ekonomi dan politik yang dapat mereduksi perwujudan kedaulatan hukum (the autonomy of law) Indonesia,” ungkapnya.
Pemerintah menurutnya hanya bersikap “given” dan teresonansi dalam draft RPP dan RUU yang mengatur tembakau dan IHT, secara konten mengandung dan memuat copy paste dari isi traktat Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
Lebih lanjut Andriea menjelaskan subtansi FCTC yang nyata-nyata mendapatkan reaksi keras dari masyarakat dan stakeholders kretek di Indonesia, tidak bisa diadopsi begitu saja substansinya menjadi substansi hukum di Indonesia. Ada permasalahan yang sangat kompleks yang dapat menimbulkan persoalan baru jika regulasi baik UU maupun PP dicopy dari FCTC.
Sumber : Aktual.co
0 komentar:
Posting Komentar