Kedaulatan Kretek

Oleh Zamhuri*


TRIBUNNEWS.COM - Tema tentang kretek dalam satu dasa warsa, terutama beberapa tahun belakangan menjadi wacana yang menyita perhatian publik. Seluruh energi bangsa, terutama pihak-pihak yang berkepentingan dengan nilai ekenomi “asap ajaib” ini dicurahkan untuk membela maupun menyudutkan racikan yang oleh daerah asalnya diberi label “kretek” ini. Paduan hasil budidaya para petani asli Indonesia yang terdiri dari bahan tanaman cengkih dan belasan jenis tembakau dari penjuru negeri ditambah saus pembangkit aroma telah mengundang perhatian dunia sejak zaman kolonialisme Hindia Belanda.
Tidak mengherankan sebetulnya, karena “rokok cengkeh” ini telah lama dikenal sebagai varian kreativitas anak bangsa dari produk rempah-rempah bumi Nusantara. Karenanya, dengan modus yang sama, bangsa lain ingin menancapkan kembali “kuku kolonialisme” melalui segala dalih termasuk isu mulia “kesehatan” untuk merebut kuasa pasar jagad distribusi kretek.
Gaya koloni baru dengan taktik dan strategi mutakhir terutama melalui isu ekonomi dan kebudayaan menjadi pilihan rasional bagi negara agresor untuk menguasai sumber-sumber daya yang menjadi komoditas unggulan dunia. Dengan dalih demokrasi negara-negara Timur Tengah yang dikenal sebagai penghasil tambang minyak berganti rezim dengan membayar mahal karena sumber energinya dikuasai oleh jaringan kolonialisme global.
Sama halnya negara-negara di Timur Tengah, sumber-sumber daya ekomoni negara Indonesia, baik potensi kekayaan laut, hasil tambang  maupun hasil budi daya pertanian, terutama tanaman rempah-rempah menjadi target incaran kolonialisme global. Indonesia yang dikenal sebagai tanah surga, karena mulai dari laut, kandungan perut bumi dan budi daya pertanian memiliki kekayaan luar biasa. Namun potensi kekayaan tersebut seolah menjadi “kutukan” bukan keberkahan. Dengan potensi kekayaan yang melimpah, Indonesia tidak memiliki kedaulatan untuk mengurus sendiri.
Lihatlah potensi kekayaan Indonesia, mulai pemandangan eksotis dari puncak gunung hingga ke dasar laut, tanah yang subur (karena banyaknya gunung berapi dan terletak di antara garis khatulistiwa). Lautan terluas di dunia dan dikelilingi oleh dua samudera (jutaan spesies ikan yang tidak dimiliki oleh negara lain), hutan tropis terbesar di dunia (39.549.447 ha dengan keanekaragaman dan plasma nutfah terlengkap), cadangan gas alam terbesar dunia di blok Natuna (Blok Natuna D Alpha memiliki 202 triliun kaki kubik cadangan gas), blok penghasil tambang dan minyak seperti Blok Cepu), dan yang paling menggemparkan adalah tambang emas terbesar dengan kualitas emas terbaik di dunia bernama PT Freeport Indonesia. Dalam soal mengelola tambang Indonesia minus kedaulatan.
Di tengah laut, negara tidak berdaya menghadapi para pencuri ikan (illegal fishing) dan plasma laut lainnya. Menurut Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP), kerugian akibat penjarahan oleh nelayan asing sampai Rp 30 triliun per tahun. Penjarahan terutama terjadi di laut China Selatan, Arafura, Laut Sulawesi, serta perairan lain yang terhubung langsung ke negara tetangga. (www.kabarbisnis.com/read/2830610). Hal ini terjadi selain lemahnya pengawasan, juga karena kian agresifnya nelayan asing menjelajahi perairan Indonesia dengan dukungan kapal dan alat tangkap memadai.
Indonesia merupakan negara dengan tingkat biodiversitas tertinggi kedua di dunia setelah Brazil. Fakta tersebut menunjukkan tingginya keanekaragaman sumber daya alam hayati yang dimiliki Indonesia. Berdasarkan Protokol Nagoya, sumber daya alam hayati tersebut akan menjadi tulang punggung perkembangan ekonomi yang berkelanjutan (green economy). Namun lagi-lagi Indonesia tidak memiliki kedaulatan untuk mengurusnya.
Soal komoditas yang menguasai hajat hidup orang banyak dan tentu saja unggulan, terutama komoditas rempah-rempah menjadi incaran kolonialisme global. Berkaca pada terenggutnya kedaulatan ekonomi komoditas unggulan seperti minyak kelapa (copra), garam, gula, dan jamu, Indonesia rentan terhadap sasaran pembajakan hayati (biopiracy). Indonesia telah menjadi pasar sonder kedaulatan sebagai negara produsen.
Legenda kretek adalah aset dan omset nasional tersisa yang hingga kini masih bertahan dan menjadi penguasa di negeri sendiri. Kejayaan kretek tersirat dari penyebutan nama Nitisemito (pengusaha kretek yang sukses dan kaya dari Kudus) oleh Soekarno saat negara Indonesia akan diproklamasikan (Yudi Latif, 2012).
Episode kretek telah mengawal negeri melewati masa-masa pahit dan manis perjalanan anak negeri. Saat badai krisis menerpa kretek tetap bernadi. Kretek merupakan industri nasional berkarakter lokal. Modal dari dalam negeri, berproduksi di dalam negeri, sebagain besar bahan bakunya dari dalam negeri, tenaga kerjanya (dari hulu sampai hilir) dari dalam negeri, mayoritas kapasitas produksi dipasarkan di dalam negeri dan menguasai pasar dalam negeri. 
Buku “Kiminalisasi Berujung Monopoli: Industri Tembakau Indonesia di tengah Pusaran Kampanye Regulasi Anti Rokok Internasional” (Jakarta, Indonesia Berdikari, 2011) mencatat secara global pasar tembakau bernilai 378 milyar dolar AS,  tumbuh 4,6 % pada tahun 2007. Pada tahun 2012, nilai pasar tembakau diproyeksikan meningkat 23% mencapai 464,4 milyar dolar AS. Jika seluruh industri tembakau besar digabungkan dan diibaratkan sebua negara, maka posisinya menduduki peringkat 23 dunia dasi sisi Produk Domestic Bruto (PDB). Melihat potensi pasar raksasa tersebut, komoditas tembakau akan menjadi rebutan. Apalagi kretek merupakan produk rokok yang tidak ada duanya di dunia sangat diminati dan memiliki kekuatan penetrasi di pasar global.
Dogma kesehatan dalam isu kampanye global perang melawan tembakau yang merambah Indonesia hanyalah strategi pengalih isu para imperialis pemburu kretek. Faktanya, pertama, setelah regulasi didominasi oleh kelompok anti tembakau (tobacco control), impor tembakau ke Indonesia meningkat. Pada tahun 2003 sebesar 29.576 ton naik menjadi 25.171 ton pada tahun 2004, tahun 2005 sebesar 48.142 ton, tahun 2006 sebesar 48.287 ton, tahun 2007 sebesar 61.687 ton, dan tahun 2008 menjadi 77.302 ton. Dari tahun 2003-2008 impor tembakau Indonesia naik 25o%. Justru di saat yang sama negara melalui Menteri Pertanian menganjurkan petani tembakau beralih ke tanaman hortukultura dan perlunya kebijakan subtitusi bagi para petani. 
Kedua, impor rokok dan cerutu ke Indonesia meningkat. Impor rokok meningkat rata-rata 86,87%, dari 0,836 juta dolar AS di tahun 2004 menjadi 4,357 juta dolar AS pada 2008. Di tahun yang sama, impor cerutu juga meningkat rata-rata 197,5% per tahun, 0,09 juta dolar AS menjadi  0,979 juta dolar AS. (Outlook Komoditas Pertanian dan Perkebunan, Pusat Data dan Informasi Pertanian Kementrian Pertanian, 2010).
Ketiga, dua perusahaan kretek besar telah diambil alih sahamnya oleh kapitalis asing. Di tahun 2005 Philip Moris membeli 97% saham HM Sampoerna dengan nilai pembelian sebesar 48,5 trilliun rupiah. Pada tahun 2009 gilirian British American Tobacco (BAT) membeli perusahaan kretek terbesar keempat, Bentoel dengan nominal 5 trilliun rupiah.
Lalu, apa arti dari kampanye kesehatan termasuk memproduksi regulasi yang menjerat industri kretek dalam negeri? Logika apalagi untuk mempertahankan argumen bahwa kampanye kesehatan dalam isu kretek bukan kedok strategi menguasai produksi kretek nasional.  Karena itu, sudah sepantasanya jika ada perlawanan dari masyarakat, terutama komunitas kretek untuk  berjihad mempertahankan kedaulatan kretek.
*Zamhuri, Sekretaris Pusat Studi Kretek Indonesia, Puskindo
 Sumber :  TribunNews

0 komentar:

Posting Komentar

 
Didesain oleh Puskindo | Dipersembahkan untuk Sivitas Akademika - Universitas Muria Kudus